DAFTAR ISI

Rabu, 13 November 2013

ITTIBA

`
Allah SWT Berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ [البقرة: 170[
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS Al Baqarah : 170)
Syubhat
Banyak orang tidak mampu memaparan dalil amalan yang  ia lakukan, ketika ditanya, ia berdalih dengan alasan klasik “Ini merupakan perkataan ulama fulan ”, Ayat di atas serta ayat-ayat serupa dalam Al Qur`an membuktikan bahwa perbuatan mereka adalah salah. Islam merupakan  agama  rasional. Seorang mukmin dituntut berpikir kritis dalam beragama, mereka yang melakukan amalan semata karena mengikuti orang-tua atau bahkan ulama tanpa mengetahui dalil merupakan seorang yang bertaqlid buta, hal yang sangat dicela dalam islam. Betapa tepatnya teguran yang terdapat dalam  Qur`an untuk mereka  :
 "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Kami Menjawab
Perlu diketahui, Tidak ada perbedaan antara istilah taqlid dan ittiba`, buktinya para ulama ketika menjelaskan mengenai bentuk taqlid yang dilarang sering berdalil memakai ayat di atas, meskipun dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan ungkapan Ittiba` (بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ) bagi kaum kafir yang bertaqlid buta pada orang tuanya.
Kemudian, Tidak semua bentuk taqlid terlarang dalam agama. Taqlid yang dilarang adalah jika kita mengikuti dan mempertahankan sesuatu yang telah jelas salahnya atau taqlid dalam masalah aqidah, sedangkan taqlid yang dibenarkan adalah jika kita bertaqlid kepada kebenaran, ini bukan  hanya diperbolehkan, bahkan merupakan salah satu elemen penting dalam agama islam.
Al Imam Qurtubhi berkata mengenai ayat di atas :
Sebagian orang mengaitkan ayat ini untuk mencela perbuatan taqlid, Karena Allah telah mencela orang-orang kafir yang mengikuti nenek moyang mereka dalam kekeliruan, kekafiran, serta kemaksiatannya. Taqlid dalam masalah ini memang benar tercela, Sedangkan taqlid dalam kebenaran, maka itu merupakan satu dasar daripada dasar-dasar islam, dan satu perlindungan daripada perlindungan-perlindungan kaum muslim, bersandar padanya orang yang tidak mengetahui, dan lemah dalam berpikir(1)
Mengenai ayat yang sama, Al Imam Baidhowi berkata :
 “Ayat ini merupakan dalil mengenai larangan bertaqlid bagi mereka yang mampu untuk berpikir, dan berijtihad, sedangkan mengikuti orang lain dalam masalah agama, jika telah diketahui berdasarkan petunjuk apa saja bahwa ia adalah orang yang benar seperti para Nabi, Mujtahid dalam masalah-masalah agama, ini pada hakikatnya bukan bentuk taqlid tetapi bentuk ittiba (mengikuti) apa yang telah diturunkan oleh Allah(2)
Jika kita cermati, ternyata seluruh ayat yang mencela perbuatan meniru nenek-moyang hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir. Dan faktanya, tidak ada satupun ayat yang mencela orang mukmin karena mengikuti orang-tua mereka yang beriman(3). Jadi sangat fatal sekali akibatnya jika kita menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan mengikuti orang-tua yang muslim, sebab ini sama artinya kita menyamakan orangtua kita dengan nenek moyang orang-orang kafir. Cara berdalil seperti ini  merupakan salah satu ciri kaum khawarij, Sahabat Abdullah bin Umar ra berkata mengenai ciri kaum khawarij :
إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِى الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ .
“Mereka  mengarahkan ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang kafir untuk ditujukan kepada orang-orang mukmin” (Shahih Bukhori)(4)
Maka hendaknya kita berhati-hati dalam mengambil dalil dari Al Qur`an.
Mengenai masalah ittiba (mengikuti) terhadap orang-tua atau ulama yang sholeh, banyak sekali ayat-ayat dan hadits yang menganjurkan untuk itu, di antaranya adalah Ayat :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ [الحج: 78[
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” (QS Al Hajj : 78)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan keturunan Ibrahim untuk mengikuti ajaran orang-tuanya yang benar yaitu islam. Hal senada diucapkan oleh Nabi Yusuf dalam ayat :
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ذَلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ  [يوسف: 38[
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya). (QS Yusuf : 38)
Begitu juga doa yang biasa diucapkan rasulullah saw setiap pagi :
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ الإِخْلاَصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى مِلَّةِ أَبَيْنَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Aku berpagi hari di atas fitrah agama islam, dan di atas kalimat ikhlas, di atas agama Nabi kita Muhammad dan dia atas millah ayah kami Ibrohim....” (HR Ahmad)(5)
Dalam ayat lain Allah memuji mereka yang bersungguh-sungguh mengikuti nenek-moyangnya yang beriman, dan berjanji akan mengumpulkan mereka di surga meskipun memiliki derajat keimanan yang berbeda. Allah SWT Berfirman :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ  [الطور: 21]
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS Ath Thur : 21)
Sedangkan perintah untuk berittiba pada ulama, diisyaratkan oleh ayat :
فاسألوا أَهْلَ الذكر إِن كُنْتُم لاَ تَعْلَمُونَ [ الأنبياء : 7 [
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS Al Anbiya : 7)
Telah kita ketahui bersama, bahwa ulama merupakan pewaris para nabi, kita  diperintahkan untuk berittiba` kepada Rasulullah saw, dalam ayat :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) [آل عمران: 31[
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran : 31)
Ini berarti kita juga diperintahkan untuk ittiba terhadap ulama, sebab hanya mereka yang mewarisi ilmu Nabi, sebagaimana Sabda Rasulullah saw :
 وأن العلماء هم ورثة الأنبياء ورثوا العلم
“Sesungguhnya  ulama merupakan pewaris para Nabi, mereka mewarisi Ilmu” (HR Bukhari)(6)
Jika kita renungkan, sebenarnya Kaitan islam dengan ittiba (atau taqlid) terhadap ulama sangat kompleks. Agama islam diturunkan berdasarkan ittibaul kholaf kepada salaf (mengikutinya kaum yang datang belakangan kepada kaum pendahulu). Para sahabat berittiba kepada Rasulullah, kemudian para thabiin berittiba kepada sahabat, para murid thabiin berittiba kepada thabiin, terus demikian sampai kepada guru-guru dan ulama-ulama zaman sekarang, mereka berittiba kepada ulama sebelumnya.
Mereka yang meninggalkan ittiba dan lebih mengedepankan akal akan banyak tegelincir sehingga akhirnya menjadi kelompok ahlil bid`ah. Kaum Khawarij muncul karena mereka meninggalkan ittiba terhadap sahabat, kaum Rawafid muncul karena mereka mulai mencela sahabbat, kaum Mu`tazilah muncul karena mereka mengedepankan logika daripada Atsar (dalil), kaum Mujassimah muncul karena mereka menafsiri ayat-ayat mutasyabihah dengan pikiran mereka sendiri, begitu juga kaum Qodariyah, Jabariyyah, Jahmiyah dan para ahlil bid`ah lainnya, mereka muncul karena meninggalkan cara salaf dalam memahami syariat dan mengambil cara baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Agama islam terpelihara karena ittiba, tidak ada satu jalanpun yang bisa menyampaikan kita kepada ajaran yang murni kecuali dengan Ittiba terhadap salaf yang sholeh. Ittiba bagi orang awam adalah dengan mengikuti ulama yang kredibel meskipun tanpa mengetahui dalil sebab tidak ada beda bagi mereka mengetahui dalil atau tidak dikarenakan lemahnya mereka dalam memahami dalil, sedangkan bagi orang alim ittiba adalah memahami dalil berdasarkan cara pemahaman salaf, bukan dengan mengada-ngada cara pemahaman yang bertentangan jauh dengan mereka.
Bahkan mereka yang mengaku anti taqlid, dan berkehendak untuk mengambil hukum langsung dari alqur`an dan hadits, tidak bisa lepas dari faktor ini,  ketika mereka mengatakan “hadits ini shohih menurut Imam Bukhori” misalnya, pada hakikatnya ia sedang bertaqlid kepada Imam Bukhori dalam menshohihkan suatu hadits. Jika dia benar-benar anti taqlid, seharusnya ia memiliki metode sendiri dalam menshahihkan atau meriwayatkan suatu hadits, bukan meniru metode yang telah ada.
Tetapi tentu saja tidak semua ulama layak untuk kita ikuti pendapatnya. Hanya ulama yang bisa dibuktikan  bahwa ilmunya bersumber pada Rasulullah saja yang boleh kita ikuti.
Para Imam yang empat merupakan contoh yang tepat sebagai ulama yang mewarisi ilmu Rasulullah, ketinggian ilmu mereka tidak diragukan lagi,  selain itu ilmu mereka terjaga dan disebarkan oleh murid-murid mereka dengan sangat hati-hati melalui kitab atau kajian-kajian dari masa ke masa sampai kepada kita, sehingga kita bisa membuktikan kebenarannya, mengikuti salah satu dari empat madzhab, bagi mereka yang belum mencapai derajat ijtihad merupakan keharusan sebab kita tidak mengetahui tata-cara beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh empat madzhab tersebut. Pada hakikatnya, ketika kita bermadzhab dengan salah satu dari empat madzhab berarti kita sedang berittiba` kepada Rasulullah saw, sebab para Imam Madzhab merupakan orang-orang terbaik yang berittiba` kepada Rasulullah, sehingga berittiba` kepada mereka sama artinya dengan berittiba` kepada Rasulullah(7).
Ini bukan berarti bahwa madzhab-madzhab  selain empat madzhab ini merupakan madzhab yang salah. Banyak madzhab yang benar selain empat madzhab ini, tetapi keotentikan madhzab-madzhab itu sangat sulit dibuktikan karena kurangnya perhatian penganut madzhab mereka dalam memelihara ajaran Imamnya, begitu juga dengan madzhab para sahabat dan thabiin, kita tidak diperkenankan untuk mengikutinya sebab madzhab mereka tidak terpelihara, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah, berbeda dengan madzhab empat yang telah tersusun dengan rapi .
Referensi
 (1)تفسير القرطبي (2/  211)
الثالثة - تعلق قوم بهذه الاية في ذم التقليد لذم الله تعالى الكفار باتباعهم لابائهم في الباطل، واقتدائهم بهم في الكفر والمعصية.وهذا في الباطل صحيح، أما التقليد في الحق فأصل من أصول الدين، وعصمة من عصم المسلمين يلجأ إليها الجاهل المقصر عن درك النظر.واختلف العلماء في جوازه في مسائل الاصول على ما يأتي، وأما جوازه في مسائل الفروع فصحيح.
 (2)تفسير البيضاوي (1/  206)
 { أَوَ لَّوْ كَانَ آباؤهُم لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ } الواو للحال ، أو العطف . والهمزة للرد والتعجيب . وجواب { لَوْ } محذوف أي لو كان آباؤهم جهلة لا يتفكرون في أمر الدين ، ولا يهتدون إلى الحق لاتبعوهم . وهو دليل على المنع من التقليد لمن قدر على النظر والاجتهاد . وأما اتباع الغير في الدين إذا علم بدليل ما أنه محق كالأنبياء والمجتهدين في الأحكام ، فهو في الحقيقة ليس بتقليده بل اتباع لما أنزل الله .
 (3)فتح الباري لابن حجر (20/  440(
وَأَمَّا الْآيَات وَالْأَحَادِيث فَإِنَّمَا وَرَدَتْ فِي حَقِّ الْكُفَّار الَّذِينَ اِتَّبَعُوا مَنْ نُهُوا عَنْ اِتِّبَاعه وَتَرَكُوا اِتِّبَاع مَنْ أُمِرُوا بِاتِّبَاعِهِ . وَإِنَّمَا كَلَّفَهُمْ اللَّه الْإِتْيَان بِبُرْهَانٍ عَلَى دَعْوَاهُمْ بِخِلَافِ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمْ يَرِد قَطُّ أَنَّهُ أَسْقَطَ اِتِّبَاعهمْ حَتَّى يَأْتُوا بِالْبُرْهَانِ . وَكُلّ مَنْ خَالَفَ اللَّه وَرَسُوله فَلَا بُرْهَان لَهُ أَصْلًا وَإِنَّمَا كُلِّفَ الْإِتْيَان بِالْبُرْهَانِ تَبْكِيتًا وَتَعْجِيزًا . وَأَمَّا مَنْ اِتَّبَعَ الرَّسُول فِيمَا جَاءَ بِهِ فَقَدْ اِتَّبَعَ الْحَقّ الَّذِي أُمِرَ بِهِ وَقَامَتْ الْبَرَاهِين عَلَى صِحَّته ، سَوَاء عَلِمَ هُوَ بِتَوْجِيهِ ذَلِكَ الْبُرْهَان أَمْ لَا . وَقَوْل مَنْ قَالَ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّه ذَكَرَ الِاسْتِدْلَال وَأَمَرَ بِهِ مُسَلَّمٌ لَكِنْ هُوَ فِعْل حَسَن مَنْدُوب لِكُلِّ مَنْ أَطَاقَهُ ، وَوَاجِب عَلَى كُلّ مَنْ لَمْ تَسْكُنْ نَفْسه إِلَى التَّصْدِيق كَمَا تَقَدَّمَ تَقْرِيره وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيق
 (4) صحيح البخارى (23/  31(
6 - باب قَتْلِ الْخَوَارِجِ وَالْمُلْحِدِينَ بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِمْ . وَقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ ) . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِى الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ .
 (5)مسند أحمد (32/  295(
15756- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ ذَرٍّ عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ الإِخْلاَصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى مِلَّةِ أَبَيْنَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ». تحفة 9684 معتلى 5833
 (6)صحيح البخارى (1/  130(
10 - باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ . ( 10 ) لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ) فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ ، وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ - وَرَّثُوا الْعِلْمَ - مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
 (7)فيض القدير (1/  209(
 ويجب علينا أن نعتقد أن الأئمة الأربعة والسفيانين والأوزاعي وداود الظاهري وإسحاق بن راهويه وسائر الأئمة على هدى ولا التفات لمن تكلم فيهم بما هم بريئون منه والصحيح وفاقا للجمهور أن المصيب في الفروع واحد ولله تعالى فيما حكم عليه أمارة وأن المجتهد كلف بإصابته وأن مخطئه لا يأثم بل يؤجر فمن أصاب فله أجران ومن أخطأ فأجر نعم إن قصر المجتهد أثم اتفاقا وعلى غير المجتهد أن يقلد مذهبا معينا وقضية جعل الحديث الاختلاف رحمة جواز الانتقال من مذهب لآخر والصحيح عند الشافعية جوازه لكن لا يجوز تقليد الصحابة وكذا التابعين كما قاله إمام الحرمين من كل من لم يدون مذهبه فيمتنع تقليد غير الأربعة في القضاء والافتاء لأن المذاهب الأربعة انتشرت وتحررت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم لانقراض اتباعهم وقد نقل الإمام الرازي رحمه الله تعالى إجماع المحققين على منع العوام من تقليد أعيان الصحابة وأكابرهم انتهى  نعم يجوز لغير عامي من الفقهاء المقلدين تقليد غير الأربعة في العمل لنفسه إن علم نسبته لمن يجوز تقليده وجمع شروطه عنده لكن بشرط أن لا يتتبع الرخصة


Tidak ada komentar:

Posting Komentar